Indonesia terletak di posisi geografis antara benua
Asia dan Eropa serta samudra Pasifik dan Hindia, sebuah posisi yang strategis
dalam jalur pelayaran niaga antar benua. Salah satu jalan sutra, yaitu jalur
sutra laut, ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui selat Malaka ke India.
Dari sini ada yang ke teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada yang ke
laut Merah melalui Mesir dan sampai juga ke laut Tengah (Van Leur). Perdagangan
laut antara India, Tiongkok, dan Indonesia dimulai pada abad pertama sesudah
masehi, demikian juga hubungan Indonesia dengan daerah-daerah di Barat
(kekaisaran Romawi). Perdagangan di masa kerajaan-kerajaan tradisional disebut
oleh Van Leur mempunyai sifat kapitalisme politik, dimana pengaruh raja-raja
dalam perdagangan itu sangat besar. Misalnya di masa Sriwijaya, saat
perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat dan Eropa, mencapai
zaman keemasannya. Raja-raja dan para bangsawan mendapatkan kekayaannya dari
berbagai upeti dan pajak.
Kejayaan suatu negeri dinilai dari
luasnya wilayah, penghasilan per tahun, dan ramainya pelabuhan.Hal itu
disebabkan, kekuasaan dan kekayaan kerajaan-kerajaan di Sumatera bersumber dari
perniagaan, sedangkan di Jawa, kedua hal itu bersumber dari pertanian dan
perniagaan. Di masa pra kolonial, pelayaran niaga lah yang cenderung lebih
dominan. Namun dapat dikatakan bahwa di Indonesia secara keseluruhan, pertanian
dan perniagaan sangat berpengaruh dalam perkembangan perekonomian Indonesia,
bahkan hingga saat ini.
·
Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal
§ Pengertian.
Sistem ekonomi liberal kapitalis adalah sitem
ekonomi yang aset-aset produktif dan faktor-faktor produksinya sebagian besar
dimiliki oleh sektor individu/swasta. Sementara tujuan utama kegiatan produksi
adalah menjual untuk memperoleh laba.
Sistem perekonomian/tata ekonomi liberal
kapitalis merupakan sistem perekonomian yang memberikan kebebasan kepada setiap
orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti memproduksi barang,
menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya.
Dalam perekonomian liberal kapitalis
setiap warga dapat mengatur nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua
orang bebas bersaing dalam bisnis untuk memperoleh laba sebesar- besarnya dan
bebas melakukan kompetisi untuk memenangkan persaingan bebas.
§ Ciri-ciri.
Ciri-ciri dari sistem ekonomi liberal
kapitalis antara lain :
a. Masyarakat diberi kebebasan dalam memiliki
sumber-sumber produksi.
b. Pemerintah tidak ikut campur tangan secara
langsung dalam kegiatan ekonomi.
c. Masyarakat terbagi menjadi dua golongan,
yaitu golongan pemilik sumber daya produksi dan masyarakat pekerja (buruh).
d. Timbul persaingan dalam masyarakat,
terutama dalam mencari keuntungan.
e. Kegiatan selalu mempertimbangkan keadaan
pasar.
f. Pasar merupakan dasar setiap tindakan
ekonom.
g. Biasanya barang-barang produksi yang
dihasilkan bermutu tinggi.
§ Keuntungan dan Kelemahan.
Sistem ekonomi liberal kapitalis selain
memilki keuntungan juga mempunyai kelemahan, antara lain :
a.
Keuntungan :
1)
Menumbuhkan inisiatif dan kerasi masyarakat dalam kegiatan ekonomi, karena masyarakat tidak perlu lagi menunggu
perintah dari pemerintah.
2) Setiap individu bebas memiliki untuk
sumber-sumber daya produksi, yang nantinya akan mendorong partisipasi
masyarakat dalam perekonomian.
3)
Timbul persaingan semangat untuk maju dari masyarakat.
4)
Mengahsilkan barang-barang bermutu tinggi, karena adanya persaingan semangat
antar masyarakat.
5) Efisiensi dan efektifitas tinggi, karena
setiap tindakan ekonomi didasarkan motif mencari keuntungan.
b.
Kelemahan :
1)
Terjadinya persaingan bebas yang tidak sehat.
2)
Masyarakat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
3)
Banyak terjadinya monopoli masyarakat.
4) Banyak terjadinya gejolak dalam
perekonomian karena kesalahan alokasi sumber
daya oleh individu.
5)
Pemerataan pendapatan sulit dilakukan, karena persaingan bebas tersebut.
§ Institusi-institusi dalam Ekonomi
Liberal Kapitalis.
Ada
lima institusi pokok yang membangun sitem ekonomi liberal kapitalis, yakni :
a.
Hak kepemilikan.
Sebagian besar hak kepemilikan dalam
sistem ekonomi liberal kapitalis adalah hak kepemilikan swasta/individu
(private/individual property), sehingga individu dalam masyarakat liberal
kapitalis lebih terpacu untuk produktif.
b.
Keuntungan.
Keuntungan (profit) selain memuaskan
nafsu untuk menimbun kekayaan produktif, juga merupakan bagian dari ekspresi
diri, karena itu keuntungan dipercaya dapat memotivasi manusia untuk bekerja
keras dan produktif.
c.
Konsumerisme.
Konsumerisme sering diidentikkan dengan
hedonisme yaitu falsafah hidup yang mengajarkan untuk mencapai kepuasan
sebesar-besarnya selama hidup di dunia.
Tetapi dalam arti positif, konsumerisme adalah gaya hidup yang sangat
menekankan pentingnya kualitas barang dan jasa yang digunakan. Sebab tujuan
akhir dari penggunaan barang dan jasa adalah meningkatkan nilai kegunaan
(utilitas) kehidupan. Sehingga masyarakat liberal kapitalis terkenal sebagai
penghasil barang dan jasa yang berkualitas.
d.
Kompetisi.
Melalui kompetisi akan tersaring
individu-individu atau perusahaan-perusahaan yang mampu bekerja efisien.
Efisiensi ini akan menguntungkan produsen maupun konsumen, atau baik yang
membutuhkan (demander) maupun yang menawarkan (supplier).
e.
Harga.
Harga merupakan indikator kelangkaan,
jika barang dan jasa semakin mahal berarti barang dan jasa tersebut semakin
langka. Bagi produsen, gejala naiknya harga merupakan sinyal untuk menambah
produksi agar keuntungan meningkat.
·
Era Penduduk Jepang
Jepang menyebut Indonesia sebagai :
"To Hindo". Indonesia sudah lama diincar oleh Jepang. Melimpahnya
sumber daya manusia dan sumber daya alam merupakan alasan utamanya. Hal ini
sangat penting karena Jepang memerlukan sumber daya yang banyak untuk mendukung
kepentingan perangnya. Pada masa pendudukan Jepang, perekonomian di Indonesia
bercorak ekonomi perang. Ciri-cirinya adalah adanya pengaturan, pembatasan,
serta penguasaan faktor-faktor produksi oleh pemerintah militer. Pemerintah
pendudukan di Indonesia segera mengambil alih seluruh kegiatan ekonomi dan
pembangunan.
Pemerintah pendudukan Jepang kemudian
mengeluarkan Undang- Undang No. 22 Tahun 1942 yang isinya menyatakan bahwa
pemerintah militer mereka (Gunseikan) langsung mengawasi perkebunan. Perkebunan
di Indonesia yang tidak mempunyai kaitan dengan perang ditutup. Sebaliknya,
perkebunan yang dapat menunjang kegiatan perang mereka seperti karet, teh,
gula, jarak, dan kina terus diberdayakan. Komoditas tersebut sangat mendukung
Jepang terutama dalam menyiapkan akomodasinya.
Pengaruh Kebijakan Pemerintah Pendudukan
Jepang di Indonesia
Uang terbitan pemerintah Jepang
Pada bidang perbankan, Jepang melikuidasi bank-bank
bekas peninggalan Belanda. Hal ini dilakukan setelah bank-bank tersebut
membayar hutang. Jepang kemudian mendirikan bank-bank baru seperti Yokohama
Ginko, Taiwan Ginko, Mitsui Ginko, dan Kana Ginko. Jepang juga mengeluarkan
uang baru untuk menutup defisit akibat pembangunan di bidang militer mereka.
Perekonomian penduduk menjadi lumpuh karena dikorbankan demi alasan semu "Kemakmuran
Bersama Asia Timur Raya". Penduduk dimobilisasi untuk menyerahkan hasil
bumi dan juga tenaganya. Akibatnya, penduduk menjadi kekurangan gizi dan
kesengsaraan merajalela di berbagai daerah di Indonesia.
·
Perekonomian
Pada Masa Orde Lama 1945-1966
Pada awal kemerdekaan, pembangunan ekonomi
Indonesia mengarah perubahan struktur ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional, yang bertujuan untuk memajukan industri kecil untuk memproduksi
barang pengganti impor yang pada akhirnya diharapkan mengurangi tingkat
ketergantungan terhadap luar negeri.
Sistem moneter tentang perbankan khususnya
bank sentral masih berjalan seperti wajarnya. Hal ini dibuktikan dengan adanya
hak ekslusif untuk mencetak uang dan memegang tanggung jawab perbankan untuk
memelihara stabilitas nasional. Bank Indonesia mampu menjaga tingkat kebebasan
dari pengambilan keputusan politik.
Sejak tahun 1955, pembangunan ekonomi
mulai meramba ke proyek-proyek besar. Hal ini dikuatkan dengan keluarnya
kebijakan Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun (1961). Kebijakan ini
berisi rencana pendirian proyek-proyek besar dan beberapa proyek kecil untuk
mendukung proyek besar tersebut.
Rencana
ini mencakup sektor-sektor penting dan menggunakan perhitungan modern. Namun
sayangnya Rencana Pembangunan Semesta Delapan Tahun ini tidak berjalan atau
dapat dikatakan gagal karena beberapa sebab seperti adanya kekurangan devisa
untuk menyuplai modal serta kurangnya tenaga ahli.
Perekonomian Indonesia pada masa ini
mengalami penurunan atau memburuk.
Terjadinya pengeluaran besar-besaran
yang bukan ditujukan untuk pembangunan dan pertumbuhan ekonomi melainkan berupa
pengeluaran militer untuk biaya konfrontasi Irian Barat, Impor beras, proyek
mercusuar, dan dana bebas (dana revolusi) untuk membalas jasa teman-teman dekat
dari rezim yang berkuasa.Perekonomian juga diperparah dengan terjadinya
hiperinflasi yang mencapai 650%. Selain itu Indonesia mulai dikucilkan dalam
pergaulan internasional dan mulai dekat dengan negara-negara komunis.
·
Perekonomian Pada Masa Orde Baru 1966-1998
Presiden Soekarno. Orde baru lahir
dengan semangat “koreksi total” terhadap
penyimpangan yang terjadi pada masa orde lama.
Orde baru berlangsung selama 1966-1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi
Indonesia berkembang pesat yang diikuti dengan berkembangnya korupsi yang
merajalela pada setiap tingkatan pemerintahan. Selain itu, kesenjangan antara
warga yang kaya dan miskin semakin besar. Untuk mengatasi keadaan ekonomi yang
kacau sebagai peninggalan pemerintahan
orde lama, pemerintahan orde baru melakukan langkah-langkah : -
Memperbaharui kebijakan ekonomi,
keuangan, dan pembangunan. Kebijakan ini didasari oleh Tap MPRS
No.XXIII/MPRS/1966 -
MPRS mengeluarkan garis program
pembangunan, yakni program penyelamatan,
program stabilisasi, dan rehabilitasi Pada masa pemerintahan orde baru,
kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi
tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal
tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan
Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang
stabil, dan pemerataan pembangunan. Hal
ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas
politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada
masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk disahkan menjadi APBN. APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun
berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi,
tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah
terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran
fundamental ekonomi nasional. Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam
penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan
terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan
pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan
pengeluaran pembangunan. Sirkulasi
anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya.
Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan sesuai dengan masa panen
petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional
memperhatikan petani. APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan
prinsip berimbang, yaitu anggaran
penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran
pengeluaran sehingga terdapat jumlah
yang sama antara penerimaan dan
pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin,
karena pada masa itu pinjaman luar
negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan
pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit. Ini artinya pinjaman-pinjaman
luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran
penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang
yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami
defisit anggaran. Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan
stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari
terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya
karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat
berjalan. Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip
fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan
dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah,
pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya
dibiayai oleh sumber dana dalam negeri. Pada dasarnya kebijakan ini sangat
bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan
tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu
meningkat. Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam
APBN adalah dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk
membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan
kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat
dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan
tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan. Sebenarnya kebijakan
ekonomi pada masa orde baru menuai banyak hal
positif, di antaranya perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada
tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000,
Indonesia mengalami surplus beras yang akhirnya diimpor ke India, pembangunan terutama di Indonesia didukung
program Repelita yang berfokus pada
industri dan pertanian atau agro industri untuk di ekspor yang cukup menambah
devisa negara pada saat itu. Sayangnya, hal itu terus diikuti dengan penambahan utang luar negeri yang diletakkan
sebagai penerimaan sehingga setiap tahun terjadi defisit anggaran. Hal itu
belum ditambah dengan besarnya angka korupsi yang terjadi pada anggaran
sehingga dampak semua itu dapat dilihat pada akhir masa orde baru, tahun 1998.
·
Perekonomian Pada Masa Reformasi
1998-sekarang
Pada
masa krisis ekonomi, ditandai dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru kemudian
disusul dengan era Reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden Habibie.
Pada masa ini tidak hanya hal ketatanegaraan yang mengalami perubahan, namun
juga kebijakan ekonomi. Sehingga apa yang telah stabil dijalankan selama 32
tahun, terpaksa mengalami perubahan guna menyesuaikan dengan keadaan.
1. Masa Kepemimpinan B.J. Habibie
Pada awal pemerintahan reformasi,
masyarakat umum dan kalangan pengusaha dan investor, termasuk investor asing,
menaruh pengharapan besar terhadap kemampuan dan kesungguhan pemerintah untuk
membangkitkan kembali perekonomian nasional dan menuntaskan semua permasalahan
yang ada di dalam negeri warisan rezim orde baru, seperti korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN); supremasi hukum; hak asasi manusia (HAM); Tragedi Trisakti dan
Semanggi I dan II; peranan ABRI di dalam politik; masalah disintegrasi; dan
lainnya. Masa pemerintahan Habibie ditandai dengan dimulainya kerjasama dengan
Dana Moneter Internasional untuk membantu dalam proses pemulihan ekonomi.
Selain itu, Habibie juga melonggarkan pengawasan terhadap media massa dan
kebebasan berekspresi.
Di bidang ekonomi, ia berhasil memotong
nilai tukar rupiah terhadap dollar masih berkisar antara Rp 10.000 – Rp 15.000.
Namun pada akhir pemerintahannya, terutama setelah pertanggungjawabannya
ditolak MPR, nilai tukar rupiah meroket naik pada level Rp 6500 per dolar AS nilai
yang tidak akan pernah dicapai lagi di era pemerintahan selanjutnya. Selain
itu, ia juga memulai menerapkan independensi Bank Indonesia agar lebih fokus
mengurusi perekonomian. Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan
ekonomi Indonesia, BJ Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
•
Melakukan restrukturisasi dan rekapitulasi perbankan melalui pembentukan
BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dan unit Pengelola Aset Negara
•
Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah
• Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap
dolar hingga di bawah Rp. 10.000,00
•
Membentuk lembaga pemantau dan penyelesaian masalah utang luar negeri
•
Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang disyaratkan IMF
•
Mengesahkan UU No. 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan yang Tidak Sehat
• Mengesahkan UU No. 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen Pemerintahan presiden B.J. Habibie yang mengawali
masa reformasi belum melakukan manuver-manuver yang cukup tajam dalam bidang
ekonomi. Kebijakan-kebijakannya diutamakan untuk mengendalikan stabilitas
politik.
2. Masa Kepemimpinan K.H. Abdurrahman Wahid
(Gus Dur)
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun
sebelumnya, pada tahun 1999 kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan
adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari
0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik
lagi dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju
inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah yang mencerminkan bahwa
kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Akan tetapi, ketenangan masyarakat setelah
terpilihnya Presiden Indonesia keempat tidak berlangsung lama. Presiden mulai
menunjukkan sikap dan mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang
membingungkan pelaku-pelaku bisnis. Presiden cenderung bersikap diktator dan
praktek KKN di lingkungannya semakin intensif, bukannya semakin berkurang yang
merupakan salah satu tujuan dari gerakan reformasi. Sikap presiden tersebut juga
menimbulkan perseteruan dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang klimaksnya
adalah dikelurakannya peringatan resmi kepada Presiden lewat Memorandum I dan
II. Dengan dikeluarkannya Memorandum II, Presiden terancam akan diturunkan dari
jabatannya jika usulan percepatan Sidang Istimewa MPR jadi dilaksanakan pada
bulan Agustus 2001.
Berbagai kerusuhan sosial yang bernuansa
disintegrasi dan sara terus berlanjut, misalnya pemberontakan Aceh, konflik
Maluku, dan pertikaian etnis di Kalimantan Tengah. Belum lagi demonstrasi buruh
semakin gencar yang mencerminkan semakin tidak puasnya mereka terhadap kondisi
perekonomian di dalam negeri, juga pertikaian elite politik semakin besar.
Selain itu, hubungan pemerintah
Indonesia dibawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik,
terutama karena masalah amandemen UU No. 23 tahun 1999 mengenai Bank Indonesia;
penerapan otonomi daerah, terutama menyangkut kebebasan daerah untuk pinjam
uang dari luar negeri; dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda pelaksanaannya.
Tidak tuntasnya revisi tersebut mengakibatkan IMF menunda pencairan bantuannya
kepada pemerintah Indonesia, padahal roda perekonomian nasional saat ini sangat
tergantung pada bantuan IMF. Selain itu, Indonesia terancam dinyatakan bangkrut
oleh Paris Club (negara-negara donor) karena sudah kelihatan jelas bahwa
Indonesia dengan kondisi perekonomiannya yang semakin buruk dan defisit
keuangan pemerintah yang terus membengkak, tidak mungkin mampu membayar kembali
utangnya yang sebagian besar akan jatuh tempo tahun 2002 mendatang. Bahkan,
Bank Dunia juga sempat mengancam akan menghentikan pinjaman baru jika
kesepakatan IMF dengan pemerintah Indonesia macet.
Hal ini membuat pelaku-pelaku bisnis,
termasuk investor asing, menjadi enggan melakukan kegiatan bisnis atau
menanamkan modalnya di Indonesia. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional pada
masa pemerintahan reformasi cenderung lebih buruk daripada saat pemerintahan
transisi. Bahkan, lembaga pemeringkat internasional Moody’s Investor Service
mengkonfirmasikan bertambah buruknya country risk Indonesia. Meskipun beberapa
indikator ekonomi makro mengalami perbaikan, namun karena kekhawatiran kondisi
politik dan sosial, lembaga rating lainnya (seperti Standard & Poors)
menurunkan prospek jangka panjang Indonesia dari stabil ke negatif.
Kalau kondisi seperti ini terus
berlangsung, tidak mustahil tahun 2002 ekonomi Indonesia akan mengalami
pertumbuhan jauh lebih kecil dari tahun sebelumnya, bahkan bisa kembali
negatif. Pemerintah tidak menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh (political
will) untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip once and
for all. Pemerintah cenderung menyederhanakan krisis ekonomi dewasa ini dengan
menganggap persoalannya hanya terbatas pada agenda masalah amandemen UU Bank
Indonesia, desentralisasi fiskal,
restrukturisasi utang, dan divestasi BCA dan Bank Niaga. Munculnya
berbagai kebijakan pemerintah yang controversial dan inkonsistens, termasuk
pengenaan bea masuk impor mobil mewah untuk kegiatan KTT G-15 yang hanya 5%
(nominalnya 75%) dan pembebasan pajak atas pinjaman luar negeri dan hibah,
menunjukkan tidak adanya sense of crisis terhadap kondisi riil perekonomian
negara saat ini.
Fenomena makin rumitnya persoalan
ekonomi ditunjukkan oleh beberapa indikator ekonomi. Pergerakan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukkan
growth trend yang negatif. Dalam
perkataan lain, selama periode tersebut IHSG merosot hingga lebih dari 300 poin
yang disebabkan oleh lebih besarnya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri. Hal ini mencerminkan semakin
tidak percayanya pelaku bisnis dan masyarakat terhadap prospek perekonomian
Indonesia, paling tidak untuk periode jangka pendek indikator kedua yang
menggambarkan rendahnya kepercayaan pelaku bisnis dan masyarakat terhadap
pemerintah reformasi adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Seperti yang dapat kita lihat pada grafik di bawah ini, pada awal tahun 2000
kurs rupiah sekitar Rp7.000,- per dolar AS dan pada tanggal 9 Maret 2001
tercatat sebagai hari bersejarah sebagai awal kejatuhan rupiah, menembus level
Rp10.000,- per dolar AS. Untuk menahan penurunan lebih lanjut, Bank Indonesia
secara agresif terus melakukan intervensi pasar dengan melepas puluhan juta
dolar AS per hari melalui bank-bank pemerintah. Namun, pada tanggal 12 Maret
2001, ketika Istana Presiden dikepung para demonstran yang menuntut Presiden
Gus Dur mundur, nilai tukar rupiah semakin merosot.
Pada bulan April 2001 nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS sempat menyentuh Rp12.000,- per dolar AS. Inilah rekor kurs
rupiah terendah sejak Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Republik
Indonesia.
Lemah dan tidak stabilnya nilai tukar
rupiah tersebut sangat berdampak negatif terhadap roda perekonomian nasional
yang bisa menghambat usaha pemulihan, bahkan bisa membawa Indonesia ke krisis
kedua yang dampaknya terhadap ekonomi, sosial, dan politik akan jauh lebih
besar daripada krisis pertama. Dampak negatif ini terutama karena dua hal.
Pertama, perekonomian Indonesia masih sangat tergantung pada impor, baik untuk
barang-barang modal dan pembantu, komponen dan bahan baku, maupun barang-barang
konsumsi. Kedua, utang luar negeri (ULN) Indonesia dalam nilai dolar AS, baik
dari sektor swasta maupun pemerintah, sangat besar.
Indikator-indikator lainnya adalah angka
inflasi yang diprediksi dapat menembus dua digit dan cadangan devisa yang pada
minggu terakhir Maret 2000 menurun dari 29 milyar dolar AS menjadi 28,875 dolar
AS.
Rangkuman keadaan sistem ekonomi
Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid memiliki
karakteristik sebagai berikut:
•
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, kondisi perekonomian Indonesia
mulai mengarah pada perbaikan, di antaranya pertumbuhan PDB yang mulai positif,
laju inflasi dan tingkat suku bunga yang rendah, sehingga kondisi moneter dalam
negeri juga sudah mulai stabil.
•
Hubungan pemerintah dibawah pimpinan Abdurahman Wahid dengan IMF juga
kurang baik, yang dikarenakan masalah, seperti Amandemen UU No.23 tahun 1999
mengenai bank Indonesia, penerapan otonomi daerah (kebebasan daerah untuk
pinjam uang dari luar negeri) dan revisi APBN 2001 yang terus tertunda.
•
Politik dan sosial yang tidak stabil semakin parah yang membuat investor
asing menjadi enggan untuk menanamkan modal di Indonesia.
•
Makin rumitnya persoalan ekonomi ditandai lagi dengan pergerakan Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang cenderung negatif, bahkan merosot hingga 300
poin, dikarenakan lebih banyaknya kegiatan penjualan daripada kegiatan
pembelian dalam perdagangan saham di dalam negeri.
Pada masa kepemimpinan presiden
Abdurrahman Wahid pun, belum ada tindakan yang cukup berarti untuk
menyelamatkan negara dari keterpurukan. Padahal, ada berbagai persoalan ekonomi
yang diwariskan orde baru harus dihadapi, antara lain masalah KKN (Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme), pemulihan ekonomi, kinerja BUMN, pengendalian inflasi,
dan mempertahankan kurs rupiah. Malah presiden terlibat skandal Bruneigate yang
menjatuhkan kredibilitasnya di mata masyarakat. Akibatnya, kedudukannya
digantikan oleh presiden Megawati.
3. Masa Kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
Masa kepemimpinan Megawati Soekarnoputri
mengalami masalah-masalah yang mendesak untuk dipecahkan adalah pemulihan ekonomi
dan penegakan hukum. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi
persoalan-persoalan ekonomi antara lain :
•
Meminta penundaan pembayaran utang sebesar US$ 5,8 milyar pada pertemuan
Paris Club ke-3 dan mengalokasikan pembayaran utang luar negeri sebesar Rp
116.3 triliun.
•
Kebijakan privatisasi BUMN. Privatisasi adalah menjual perusahaan negara
di dalam periode krisis dengan tujuan melindungi perusahaan negara dari
intervensi kekuatan-kekuatan politik dan mengurangi beban negara. Hasil penjualan
itu berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,1 %. Namun
kebijakan ini memicu banyak kontroversi, karena BUMN yang diprivatisasi dijual
ke perusahaan asing.
Di masa ini juga direalisasikan
berdirinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), tetapi belum ada gebrakan
konkrit dalam pemberantasan korupsi. Padahal keberadaan korupsi membuat banyak
investor berpikir dua kali untuk menanamkan modal di Indonesia, dan mengganggu
jalannya pembangunan nasional.
Meski ekonomi Indonesia mengalami banyak
perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang lebih stabil, namun Indonesia
pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam
bidang-bidang lain.
4. Masa Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono
Pemerintahan Indonesia Bersatu Jilid
I (Era SBY- JK) = (2004-2009)
Masa Kepemimpinan Susilo Bambang
Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau
dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh
naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor
pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial pertama itu
menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT)
bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan
pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial. Kebijakan yang ditempuh untuk
meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur
massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing
dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya
Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang
mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes, investasi merupakan
faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan
pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor,
terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang
ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan
jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.
Selain itu, pada periode ini pemerintah
melaksanakan beberapa program baru yang dimaksudkan untuk membantu ekonomi masyarakat
kecil diantaranya PNPM Mandiri dan Jamkesmas. Pada prakteknya, program-program
ini berjalan sesuai dengan yang ditargetkan meskipun masih banyak kekurangan
disana-sini.
Pada pertengahan bulan Oktober 2006 ,
Indonesia melunasi seluruh sisa utang pada IMF sebesar 3,2 miliar dolar AS.
Dengan ini, maka diharapkan Indonesia tak lagi mengikuti agenda-agenda IMF
dalam menentukan kebijakan dalam negeri. Namun wacana untuk berhutang lagi pada
luar negri kembali mencuat, setelah keluarnya laporan bahwa kesenjangan ekonomi
antara penduduk kaya dan miskin menajam, dan jumlah penduduk miskin meningkat
dari 35,10 jiwa di bulan Februari 2005 menjadi 39,05 juta jiwa pada bulan Maret
2006.
Hal ini disebabkan karena beberapa hal,
antara lain karena pengucuran kredit perbankan ke sector riil masih sangat
kurang (perbankan lebih suka menyimpan dana di SBI), sehingga kinerja sector
riil kurang dan berimbas pada turunnya investasi. Selain itu, birokrasi
pemerintahan terlalu kental, sehingga menyebabkan kecilnya realisasi belanja
Negara dan daya serap, karena inefisiensi pengelolaan anggaran. Jadi, di satu
sisi pemerintah berupaya mengundang investor dari luar negri, tapi di lain
pihak, kondisi dalam negeri masih kurang kondusif.
Namun, selama masa pemerintahan SBY,
perekonomian Indonesia memang berada pada masa keemasannya. Indikator yang
cukup menyita perhatian adalah inflasi.
Sejak tahun 2005-2009, inflasi berhasil
ditekan pada single digit. Dari 17,11% pada tahun 2005 menjadi 6,96% pada tahun
2009. Tagline strategi pembangunan ekonomi SBY yang berbunyi pro-poor, pro-job,
dan pro growth (dan kemudian ditambahkan dengan pro environment) benar-benar
diwujudkan dengan turunnya angka kemiskinan dari 36,1 juta pada tahun 2005,
menjadi 31,02 juta orang pada 2010. Artinya, hampir sebanyak 6 juta orang telah
lepas dari jerat kemiskinan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini tentu hanya imbas
dari strategi SBY yang pro growth yang mendorong pertumbuhan PDB.
Imbas dari pertumbuhan PDB yang
berkelanjutan adalah peningkatan konsumsi masyarakat yang memberikan efek pada
peningkatan kapasitas produksi di sector riil yang tentu saja banyak membuka
lapangan kerja baru.
Memasuki
tahun ke dua masa jabatannya, SBY hadir dengan terobosan pembangunannya berupa
master plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3 EI).
Melalui langkah MP3EI, percepatan pembangunan ekonomi akan dapat menempatkan
Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan pendapatan perkapita
antara UsS 14.250-USS 15.500, dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar
antara USS 4,0-4,5 triliun.